30 Juli 2012



   Ini bukan tentang aku, kamu atau mereka. Ini tentang semua. Semua yang mengisi hiruk pikuknya dunia ini. Dunia yang telah ada sejak berjuta-juta tahun yang lalu. Dunia yang kini telah semakin tua. Dunia yang mungkin akan berakhir entah besok atau lusa. Entah lebih cepat atau akan lebih lambat. Aku, kamu dan mereka adalah manusia. Makhluk yang konon katanya memiliki kemampuan, derajat, akhlak dan yang konon katanya paling mulia. Manusia yang katanya akan membuat dunia ini semakin baik di masa depan. Masa depan cerah yang penuh dengan hasil karya cipta yang mengagumkan. Hasil karya cipta yang hanya berguna untuk diri sendiri. Sebuah keegoisan dari manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Ada satu ironi yang seolah-olah dianggap tidak ada. Tapi sebenarnya adalah suatu kenyataan yang sangat pahit. Kenyataan dimana dibalik kesuksesan manusia dalam era yang katanya semakin maju dengan teknologi, bumi kita menangis. Bumi kita meratap. Ratapan yang sungguh menyayat hati jika engkau mendengar. Manusia memang semakin berfikir maju. Tapi patut disadari kemajuan manusia itu sendiri tidak terlepas dari alam dan seluruh isi dari dunia ini. Tapi mengapa bumi ini menangis? Mengapa alam kian lama kian bergejolak? Birunya langit semakin memudar menjadi pekat. Hijaunya hutan berubah menjadi gersang. Jernihnya air berubah menjadi hitam. Inikah yang disebut manusia sebagai kemajuan. Kemajuan manusia yang begitu dibangkan. Aku rindu saat dulu. Saat aku menatap ke atas hamparan langit biru luas tiada batas. Terbangun saat burung mulai berkicau. Rindu akan tubuh yang disiram segarnya air sungai yang jernih. Tapi semua hilang. Semua perlahan-lahan sirna. Aku kembalikan pada kamu. Aku adalah manusia. Aku sadar aku juga ikut andil dalam perjalanan dunia ini. Tapi jika kita mau jujur dan melihat bumi secara utuh, aku yakin kamu akan mendengar bumi ini meratap. Kembali ini bukan tentang aku, kami atau mereka. Ini tentang bumi kita. Tempat dimana kita hidup dan menghirup nafas.